Belajar dari Semangat Mbah Satinem, Penjual Lupis Tradisional Jogja yang Namanya Masih Bersinar
Mbah Satinem kini telah berusia sekitar 75 tahun sejak ia berjualan lupis pada 1963. Meski telah memasuki usia senja, jari jemarinya masih terlihat cekatan saat memotong lupis satu per satu. Saya mulai mengetahui adanya lupis legendaris Jogja Mbah Satinem saat seorang teman dari luar kota, bertanya ingin mencicipi makanan tersebut. Akhirnya, sejak 2020 saya mulai sering menyempatkan diri untuk membeli lupis Mbah Satinem meski harus mengantri sekitar 30 menit.
Saat
menunggu pesanan lupis, saya mengamati lalu lalang pembeli yang tak pernah
terjeda. Buka setiap hari pukul 06.00 pagi, lupis Mbah Satinem menerapkan nomor
antrian untuk tiap pembeli yang datang. Saking ramainya, terkadang Mbah Satinem
hanya berjualan 30 menit karena dagangannya yang cepat habis.
Sumber: Instagram/ @rindu.yogyakarta |
Meski terlihat laris-manis, lupis Mbah Satinem masih berjualan di trotoar ruko. Terletak di selatan Pasar Kranggan, Yogyakarta, dagangan Mbah Satinem hanya beralaskan sebuah meja kecil untuk meracik lupis. Bahkan, metode pemotongan lupis yang berbentuk lontong ini masih menggunakan benang tradisional.
Keramaian
antrian lupis Mbah Satinem juga membuat saya diam-diam kagum dengan sosok
penjualnya. Dalam keadaan bagaimanapun, Mbah Satinem tetap ramah melayani
pembeli dan seringkali mengajak mengobrol meski singkat. Dan ternyata, saya
belum lama tau juga jika sosok Mbah Satinem ini pernah muncul dalam serial dokumenter
Netflix yang dirilis pada 2019 berjudul Street
Food: Asia.
Kesederhanaan
dan konsistensi Mbah Satinem dalam berjualan, ternyata membuatnya dijuluki
sebagai legenda lupis. Tak hanya itu, dagangannya tersebut dulu ternyata
merupakan favorit jajanan tradisional Presiden Suharto. Bahkan, sosok aktor
Korea Selatan, Lee Seung Gi juga pernah menjajal cita rasa tradisional lupis
Mbah Satinem saat kunjungannya ke Yogyakarta pada 2019.
Hampir
58 tahun berjualan lupis, Mbah Satinem mengaku tetap mempertahankan cita rasa
turun-temurun yang pertama kali dibuat ibunya. Ia juga terlihat begitu terampil
saat meracik lupis, sembari dibantu oleh anak perempuannya yang mengatur antrian
dan membungkus pesanan. Melihat semangat Mbah Satinem dalam berjualan, menyimpan
kisah menarik lain yang ingin saya bagikan.
Keteladanan
dari semangat kerja keras Mbah Satinem, membuat saya penasaran dengan
kesederhanaan yang masih dipegangnya. Saat semakin banyak orang tertarik untuk
membeli dagangannya, Mbah Satinem masih konsisten berjualan di trotoar dengan
sederhana. Bahkan, harga lupis yang dijualnya pun tidak dipatok mahal dan hanya
berkisar Rp10.000 per porsi.
Bagi
saya, Mbah Satinem ini seperti layaknya seorang pahlawan. Di usia senjanya, ia
masih konsisten menjual lupis, sebagai salah satu makanan tradisional khas
Jogja yang keberadaannya semakin tenggelam. Di tengah gempuran berbagai makanan
luar negeri, pelan namun pasti, Mbah Satinem tetap mempertahankan lupis agar
tetap bisa dinikmati dan dikenal generasi muda. Ia adalah pejuang bagi jajanan
tradisional yang menolak punah.
Sumber: Instagram/ @millenialstravelguide |
Nah, nantinya setelah saya mendapatkan informasi lebih mendalam tentang sosok Mbah Satinem, saya ingin membagikan kisah teladannya dalam berjualan. Bersamaan dengan itu juga sekalian untuk mengikuti Kontes Blog Super Bercerita keempat yang diadakan Aplikasi Super. Mengusung tema #KadoUntukPahlawan, kompetisi ini bakal diadakan pada periode 4 April – 5 Juni 2022.
Menariknya, bukan cuma saya sebagai penulis yang mendapatkan hadiah, Mbah Satinem juga bisa berkesempatan mendapatkan ‘kado’ dari Super. Jika teman-teman blogger juga berminat mengikuti kompetisi ini, mudah banget lho! Cukup dengan ceritakan tentang sosok pahlawan disekitar kalian, kesempatan untuk mendapatkan hadian uang tunai ada di depan mata. Info selengkapnya tentang kompetisi ini bisa langsung aja klik disini, ya!