Sore-sore

By Nada A. - November 07, 2018


"berhenti saja sudah, aku tidak lagi mampu menerka apa maumu," kataku dalam hati.

Dia berada tepat di hadapanku. Tanpa penuh dosa, menyambar sendok makan di dalam kotak nasi dan mengambil lauk ku. Tepat hanya berbatas sebuah kursi kang bakso, kita menghabiskan satu kotak nasi bersama. Dia tau aku tidak menyukai sayur. Aku hanya memakan sedikit ayam--karena sialnya, aku memiliki alergi ketika memakan ayam terlalu banyak.


"sudah selesai? ku ambil semua ya lauknya."


Aku belum menggeleng ataupun mengiyakan, tetapi orang di hadapan ku ini sudah menyerobot nasi kotakku. Berpindah posisi dan duduk tepat di sampingku. Sebagai perempuan yang memiliki sensitifitas perasaan teramat tinggi, seketika itu juga jantungku menjadi berdegup dengan sangat kencang. Aku terus meyakinkan diri agar tetap bersikap biasa saja. Bahunya menyinggung bahuku, masih penuh dengan lauk di dalam mulutnya, ia bertanya "bagaimana harimu?". Aku cuma nyengir saja, memperlihatkan deretan gigiku yang tidak rapi. Untuk menanggulangi agar rona merah di wajahku tidak semakin kentara, aku bergegas pergi mencuci tangan dan membasuh muka. Lalu kemudian, duduk lagi di sampingnya. Tetapi dengan jarak yang lebih jauh.

Sore itu enak. Aku menghabiskan waktu dengannya selama setengah hari hingga larut malam. Menikmati anggur setelah makan. Memarahinya tanpa alasan. Duduk berjejer sampai bosan. Kami menghabiskan waktu dengan hal-hal yang percuma. Seperti ketika dia memutar lagu-lagu aneh miliknya dan aku seringkali mengganti lagu tersebut dengan lagu yang paling ia benci; lagu barat. Katanya, lagu barat itu tidak easy listening. Aneh kan? 

Aku pikir hal yang bisa aku banggakan darinya adalah bahwa ia sangat suka memutar hafalan Qur'an. Bisa aku katakan bahwa ia juga memiliki suara yang lembut. Tetapi, otaknya itu kadang-kadang bejat ketika melihat perempuan cantik lewat. "Namanya juga laki-laki, alamiah lah. Aku harus tetap seimbang dalam menjalani hidup," begitu katanya, setiap kali aku bertanya kenapa ia sering celamitan ketika melihat perempuan, padahal punya suara bagus ketika menghafal Qur'an.

Sebenarnya aku tidak menaruh hati pada sosok laki-laki yang 'sedikit' urakan seperti dia. Tetapi aku selalu saja merasa menjadi diriku sendiri ketika bersamanya. Dia sering berbicara denganku menggunakan nada yang tinggi, pernah sekali membuatku takut karena raut wajahnya yang sedang tidak baik. Tapi, tidak tau kenapa, setelah jarang bertemu dan berpisah, hingga detik ini setiap kenangan bersamanya selalu saja bergelayut di kepalaku. Aku tidak bisa melupakannya.

Biasanya, di setiap sore, kami menghabiskan waktu bersama. Mengisi teka teki silang. Mentertawai orang. Bercerita-cerita. Berkatnya, aku semakin rajin menghafal Qur'an. Meskipun yang terutama, aku menghafal Qur'an karena Allah tetapi darinya lah aku terinspirasi. Aku berfikir bahwa dari dirinyalah aku bisa belajar kebaikan-kebaikan lain. Namun, keburukannya sebagai lelaki juga sebenarnya membuatku kesal. 

Aku tidak tau bagaimana meluruhkan kenangan ini. Di setiap sore, masih saja aku berharap bisa berpapasan ataupun bertegur sapa dengannya. Walaupun aku tau, mungkin saja dia sudah bersama dengan orang lain. Bodoh!


  • Share:

You Might Also Like

1 comments