[1/3] Mengingat Perantauan

By Nada A. - August 13, 2016

Tahun lalu, masa-masa terberat dalam menentukan pilihan. Siapa sangka, jika akhirnya setelah lulus dari SMA aku malah diterima di Malang; kota dimana sebelumnya tidak pernah terfikirkan olehku untuk menetap. Dan siapa sangka, bahwa keputusanku hanya semakin menambah beban bagi finansial orangtua yang pas-pasan.

Aku merasa bersalah, jika sebelumnya menetapkan keputusan tanpa berdiskusi dengan Ibu. Bukan maksud memang tidak ingin melibatkan, namun aku sedang ingin mencari situasi aman dimana proses masuk perguruan tinggi; terlebih negeri, mempunyai banyak saingan yang tidak bisa diprediksi keberhasilannya.

Namun pada akhirnya, aku dibiarkan pergi. Menimba ilmu di kota yang sebelumnya tidak pernah sedikitpun terblesit untuk dijadikan tempat studi. Aku menetap di daerah Watugong, tempat dimana kampus dan kos bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Masa-masa awal berada di sebuah kota asing ini terbilang cukup berat, ketika rindu terhadap suasana rumah sering berkelebat hingga membuat air mata jatuh setiap malamnya. Rindu dengan menatap rupa kedua orangtua, saudara dan sahabat-sahabat disana. Temanku bilang, hal tersebut lumrah dirasakan, terlebih untuk seorang yang setiap harinya selalu tinggal bersama orangtua.

“Tidak ada pelajaran hidup, jika cobaannya enggan dirasakan..” Seorang temanku pernah berkata demikian, mencoba meyakinkanku bahwa akan selalu ada hal indah setelah hal sulit berhasil dilalui. Aku percaya akan hal tersebut, namun tidak untuk Ibuku yang masih berusaha untuk memintaku kembali; mencoba lagi mendaftar ujian di perguruan tinggi negeri tempatku berasal.


***

Watugong dan segala tentangnya, membuatku ingin kembali dimasa-masa awal ketika berada di rumah kos bersama teman-teman baru. Awalnya memang terasa asing, aneh dan penuh kewaspadaan disaat hidup bersama orang-orang yang tidak dikenal dalam satu rumah. Namun siapa sangka, bahwa berkat mereka rasa rindu terhadap rumah bisa diatasi dengan canda dan tawa.

Aku ingat disaat awal pertama kali kita dikumpulkan di depan ruang tv, diajak untuk saling memperkenalkan diri dan kita masih malu-malu untuk membuka pembicaraan. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba kita bisa menjadi dekat—saling bercerita tentang kehidupan kita masing-masing, sering membicarakan seorang senior yang berada di satu kos bersama kita, melakukan hal-hal gila yang memunculkan gelak tawa dan memberikan kejutan bagi siapa yang berulangtahun.

Bahkan diam-diam kita sering membicarakan Mbak Iza—penjaga kos yang mempunyai wajah teramat judes; tentang bagaimana usahanya membuat bisnis di kos dengan menyuruh setiap penghuni kos untuk membayar gas, menyediakan jasa laundry, saling mempermasalahkan listrik yang sering mati dan segala hal yang tidak sesuai dengan mood Mbak Iza.

Ah, rasanya aku ingin menangis mengingat hal-hal tersebut.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments