Simbah Dalam Cerita (1)
By Nada A. - November 09, 2019
Simbah
lahir sekitar tahun 1930-an. Menurutku, masa muda simbah berat. Kakek buyutku
meninggal ketika simbah berusia 8 tahun. Sementara nenek buyutku, terlanjur
nyaman hidup sebagai Ibu Rumah Tangga, mengurus rumah dan keluarga tanpa
memiliki penghasilan sepeserpun. Singkatnya, ketika penyokong hidup keluarga
pergi meninggalkan dunia, kehidupan keluarga simbah pun menjadi timpang dan
hampir porak-poranda.
Di
zaman ketika simbah kecil, memiliki anak banyak merupakan hal lumrah. Nenek ku
(Ibu-nya Ibu) memiliki 12 anak. Sedangkan Mbah Buyut (Ibu-nya Simbah) memiliki
8 anak. Simbah ku merupakan anak ketiga, memikul beban kehidupan kelima
adiknya. Nenek buyut tidak bekerja dan Simbah sendiri bergerak untuk
menjalankan roda kehidupan keluarganya.
Banyak
hal yang dilakukan Simbah agar keluarganya tetap bertahan hidup. Meskipun
memiliki beberapa petak sawah, tetapi Simbah tidak ingin menjualnya karena
merupakan peninggalan yang semestinya harus dijaga. Sehingga Simbah pun selalu
memutar otak agar bisa mendapatkan sumber kehidupan.
Kata
Simbah, ia pernah menjadi penjual serabi. Lalu, menemukan pekerjaan yang cocok
sebagai penjual kelontong di pasar. Usaha tersebut berkembang pesat. Dan segala
jerih-payah yang dikorbankan Simbah, sedikit banyak berbuah manis.
Simbah
selalu bangun pukul 3 pagi. Bersiap untuk pergi ke pasar. Jangan bayangkan
orang pergi ke pasar pada zaman dulu, sama halnya dengan saat ini. Simbah
berjalan kaki, menggendong barang bawaannya di bahu belakang. Bahkan Simbah
pernah bercerita, bahwa ia dulu sering membawa beras seberat 20Kg sejauh hampir
25 kilometer.
Mendengar
cerita masa lalu Simbah, aku takjub dan juga malu. Masa muda Simbah dilalui
dengan keras. Untuk menempuh perjalanan dari rumah hingga sampai di pasar yang
berada di pusat kota, Simbah berjalan hampir satu hari penuh untuk
pulang-pergi. Itu ia lakukan sehari-hari. Hingga saat ini, di usia Simbah yang
sudah hampir menginjak 90 tahun, ia tetap tidak senang jika hanya berdiam diri.
Maka, memindah tumpukan batu bata di depan rumah adalah rutinitas yang dijalaninya
meski sering dicegah oleh Bapak ataupun saudara-sadara ku lainnya.
Setiap
kali Simbah bercerita tentang masa lalunya, ada getir yang terdengar dari
suaranya. Ia enggan dan tak enggan menjalani kehidupan yang semakin kompleks
ini. Simbah pun menuturkan bahwa ia seperti berada di alam lain. Banyak
perbedaan mencolok, mengubah kenangan masa lalu Simbah.
Simbah
sulit untuk memahami modernitas yang terjadi. Ia senang pun juga sedih,
lantaran kehidupan yang damai, tenang penuh harmoni yang pernah dijalaninya,
berubah menjadi riuh dan membingungkan.
0 comments