Pertama kali merasakan peluhnya bekerja ketika berada di tahun 2016. Ya nggak peluh juga sih, memang sering lebay aja saya tu. Intinya, pengalaman bekerja saya untuk pertama kalinya benar-benar merubah bagaimana cara saya berfikir tentang uang. Bagaimana saya bisa lebih tahu tentang nikmat dari berjuang dan berbagi. Meskipun pada bulan-bulan pertama mendapatkan gaji perdana, malah menjadikan saya lupa diri dan ber-hedon-ria membeli sesuatu yang bukan prioritas.
Saya cukup bersyukur karena pengalaman pertama kali saya bekerja memiliki atmosfir yang menyenangkan. Mulai dari manajemennya hingga teman-teman yang berada dalam satu lingkup kerja. Pernah saya bilang kepada salah satu teman yang saat itu duduk bersama saya menunggu pelanggan datang, "ah bosen kerja disini, cuma gitu-gitu aja." Lalu teman saya yang sudah seperti om-om ini bilang, "Apa iya kerja disini cuma gitu-gitu aja? Coba pikir, dulu waktu pertama kali kerja kan pasti malu buat menghadapi konsumen, masih kaku kalau senyum-senyum, apalagi ngomong ke orang lain. Gitu kan juga bisa disebut berkembang, nggak gitu-gitu aja juga." Saya diam mencerna setiap perkataannya. "Terus kerja disini nggak cuma ketemu satu-dua orang, lebih kan? Dari temen kerja sendiri sampai pelanggan, ya siapatau nanti di masa depan malah orang itu yang bisa diajak kerja sama buat kesuksesan." Lanjutnya. Saya cuma cengar-cengir. Berfikir tentang perkataan teman saya itu. Ternyata memang ada benarnya juga, ketika awal-awal training saya masih cupu untuk berinteraksi dengan konsumen dan juga teman-teman kerja lainnya. Ya jaim gituh. Terus seiring berjalannya waktu, semua menjadi lebih luwes dan menyenangkan; karena saya menemukan teman yang bisa diajak merumpi bersama disaat berjaga. Dia mendeklarasikan namanya seperti anak pertama Atiqahasiholah.
Tetapi, beranjak hampir satu tahun kurang dua bulan, saya dan seorang teman lain, resign karena ingin menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang berhamburan. Setelah itu saya baru sadar, bahwa gaji saya selama bekerja disana benar-benar tidak terkumpul dan lenyap tanpa saya tahu kemana mereka pergi. Diluar uang yang memang digunakan untuk membantu Ibu, saya tidak tahu kemana uang-uang selama saya bekerja itu habis. Pernah saya dengan enaknya menghamburkan uang itu untuk membeli sepatu yang ternyata tidak pantas dan sangat-sangat-sangat sakit ketika saya sampai di rumah. Pernah saya membeli masker yang harganya hampir dua ratu ribu dan malah membuat wajah saya bruntusan tidak beraturan. Padahal cita-cita saya bekerja, selain agar meringankan beban orangtua dalam memberi pesangon, saya juga mau tuh beli jam (karena jam tangan saya sudah rusak), membelikan Ibu kompor (karena kompor Ibu sudah hitam), membelikan Bapak dompet (karena Bapak tidak pernah punya dompet baru semenjak anaknya sudah 4), dan lain-lain, dan sebagainya. Banyaaaaaaaaaak hal yang belum terlaksana ketika saya tahu bahwa uang gaji saya lenyap. Maka dari itu, kesadaran tersebut benar-benar sudah menampar saya tentang sakitnya kerja keras yang hasilnya raib secara ghaib.
Mungkin saya terlalu banyak jajan. Makanan-minuman diluar yang memikat benar-benar sudah menutup mata saya dan lupa jika uang itu tidak abadi. Sudah di tabung, tapi akhirnya raib juga. Hadeu hidup ini.
Setelah beberapa bulan resign dan kembali menjadi parasit--karena meminta pesangon setiap berangkat kuliah, saya mencoba untuk menjual tas, kalender, dan juga stiker; dengan sisa-sisa uang gaji terakhir yang saya punya. Tapi tu ternyata jualan tapi modalnya minim, ya ngap-ngap an juga lho sampai-sampai saya minta Ibu untuk memberikan sedikit suntikan modal. Lalu seiring waktu berjalan, penjualan tas totebag yang tidak lancar dan sudah bukan termasuk tahun baru lagi; sehingga tidak bisa menjual kalender, saya pun kembali berselancar di dunia maya yang maha luas ini mencari kegiatan volunteering ataupun pekerjaan paruh waktu yang bisa saya lakukan agar hidup bisa lebih menyenangkan.
Akhirnya setelah melewati bulan-bulan yang hanya digunakan untuk kuliah, selain menemukan kegiatan volunteering, saya juga menemukan pekerjaan paruh waktu disebuah pasar seni yang menyenangkan. Oh iya, sebagai tambahan, dalam masa-masa luang setelah resign, saya mendapatkan gaji yang lumayan karena menulis biografi. Seketika saya gunakan uang sersebut benar-benar bijak agar tidak lagi memiliki perasaan menyesal untuk ke tiga, empat, lima, dan seterusnya kali dalam hidup. Tapi tetap saja, roda perekonomian keluarga harus tetap berputar maka pengorbanan anggota keluarga sangat dibutuhkan. Hadeu.
Dan pekerjaan di sebuah pasar seni yang saya jalani waktu itu berlangsung selama sepuluh hari. Dari siang hingga malam hari; membuat pola tidur saya hingga saat ini tidak karuan. Gaji yang di dapat pun bisa dibilang cukup dan langsung saya gunakan untuk kembali membuat atm baru agar uang gajian yang didapat dari pekerjaan ini bisa disimpan dengan baik tanpa bisa diganggu gugat oleh siapapun kecuali saya sendiri. Dan ternyata bisa! Tapi sudah berkurang setengah untuk membeli tiket kereta :(
Lalu pada akhir bagian penutup tulisan ini, dimana saya sedang menunggu gajian setelah 13 hari lamanya menjadi penunggu sebuah stand di pasar seni, saya berharap semoga gajian saya bisa awet-se-awet-awet-nya meskipun akan saya bawa untuk menghadiri acara wisuda seorang sahabat karib di luar kota. Dan semoga ketika masih ada masa depan dan saya berkesempatan untuk menjajal dunia kerja disebuah media, gaji saya tidak lagi mudah lenyap seperti gaji-gaji saya ketika paruh waktu. Semoga jiwa saya semakin konsisten dalam mengolah finansial. Mari aamiin-i bersama. Aamiin.
p.s. kalau bisa saya mau kerja freelance saja, disiruh nulis-nulis gitu boleh. Atau rekrut saya jadi copy-writer dong, hehe alhamdulillah sudah pernah ikut pelatihan dan dinyatakan berkompeten.
p.s. kalau bisa saya mau kerja freelance saja, disiruh nulis-nulis gitu boleh. Atau rekrut saya jadi copy-writer dong, hehe alhamdulillah sudah pernah ikut pelatihan dan dinyatakan berkompeten.
![]() |
karya cantik milik @drawmama |
0 comments