Jangan bersedih. Gerimis dimatamu itu, membuat getir di hatiku. Isak tangismu menyentil indra pendengaranku, membuat pikiranku pecah fokus. Sudah lebih dari dua tahun enam bulan dan lima belas hari, jarak menjadi jeda diantara hubungan kita. Dan saat ini kamu malah bersedih hati karena kita tanpa sengaja bertemu disebuah kedai kopi baru milik seorang teman lama.
Kamu tercengang, ketika aku membuka percakapan diantara kita dengan jumlah jeda yang membentang menjadi jarak hubungan ini. "Sudah lebih dari dua tahun ya?" Aku membuka suara. Sementara kamu masih membisu dan hanya mengangguk meng-iyakan. "Lebih enam bulan dan lima belas hari,"sambungku.
Raut wajahmu yang tadinya tenang, berubah menjadi mendung yang siap menurunkan hujan. Lalu kamu menundukkan kepala, sembari mencoba mengalihkan pandanganmu ke arahku. Namun posisi kita yang saling berhadapan dengan sekat meja bundar berdiameter 50 senti dengan segelas kepulan kopi diantara masing-masing dari kita. tidak pelak selalu bisa membuatku menatap arah matamu yang sebenarnya tertuju. Kamu ingin mencari kamu di mataku ya? Batinku.
Tanganmu mengambil lembaran demi lembaran tisu, mengusapkannya di matamu yang mulai menghasilkan gerimis. Ingin sekali aku menepis hujan dimatamu agar tidak membasahi pipimu yang merona itu, namun bagaimana lagi, diantara kita sekarang sedang ada canggung yang melinglungkan. Aku tidak bisa apa-apa, kecuali menunggumu bersuara.
"Maaf," akhirnya kamu membuka suara. Mengatakan satu kata yang dulu jarang sekali kamu lontarkan ketika kita masih intensif bersama. Aku diam, tidak mengindahkan satu katapun yang keluar dari bibir merahmu itu.
Sekarang, kepalamu sudah tegap menghadap kearahku. Meskipun matamu masih terlihat jelas sedikit sembab karena guyuran gerimis yang tadi sempat bertandang.
"Maaf, karena aku tidak bisa memegang janjiku." Kamu berbicara lirih, matamu tidak bisa berhenti berjalan-jalan menatap sisi-sisi kedai. Sementara mataku yang fokus padamu, membuat mata kita terkadang bertemu dalam detik- karena tatapanmu yang kesana-kemari.
"Kamu sudah punya kekasih?
"Tidak. Aku tidak mempunyai kekasih."
"Lalu, mengapa harus meminta maaf?" Aku mengatur suaraku agar tidak terbawa oleh rasa penasaran.
Wanita pujaanku kembali menunduk. Gerimis kembali datang di wajahnya. Teman lama kami, sedang berada di meja pemesanan, mencuri pandang menatapku dan wanita didepanku dengan gurat cemas di wajahnya- karena melihat wanita didepanku menunduk lesu. Ia adalah teman masa sma kita, tubuhnya tambun dan perangainya menyenangkan. Merupakan salah satu orang yang menjadi mak comblang dari keberhasilan hubungan kami. Karena perangainya yang menyenangkan, ia adalah lelaki yang menjadi satu-satunya sahabat karib wanita pujaanku. Tak heran wanita pujaanku berada pada acara grand opening kedai kopi milik sahabat tambunnya itu.
Aku mengambil napas panjang, mengumpulkan suara agar tetap terdengar tenang. "Kamu tidak senang aku kembali?" Tanganku mencoba meraih tangannya diatas meja. Namun ia menghindari dan kemudian menyembunyikan kedua tangannya dibawah meja tersebut.
Ada benda ganjil yang melingkar di jarinya. Sudah bukan lagi cincin perak pemberianku disaat terakhir aku harus meninggalkannya dulu. Namun sebuah cincin emas, dengan hiasan huruf S dan A yang dikombinasikan menjadi satu. Kamu menikah, Safia? Aku menanyakan hal itu pada diriku sendiri. Segala pikiran negatif tentang kesetiaan wanita pujaanku, sekeras mungkin aku tampik agar tidak terlus berlalu-lalang didalam benakku.
"Aku sudah menikah dan sedang hamil tiga bulan." Seperti bisa membaca pikiranku, ia mulai berani mengatakan hal yang sedari tadi tidak bisa diungkapkannya- alasan mengapa ia tidak bisa menahan air matanya jatuh.
Aku menatapnya dalam, mencari kesalahan terhadap kalimat yang baru saja ia lontarkan. Bola matanya sudah tidak berjalan-jalan, fokus hanya menatapku seorang. Dalam menit, tatapan kita saling bertemu lebih lama, saling melepas rindu dan menghadirkan memori-memori indah masa lalu. Mata kita saling bernostalgia, berbagi cerita-cerita selama dua tahun enam bulan dan lima belas hari yang tidak kita lalui bersama. Sorot matamu mengisyaratkan bahwa kamu ingin sekali mengucap rindu kepadaku dan memelukku hangat sambil mengusap rambutku yang tidak terurus ini.
"Rambutmu semakin panjang saja," katamu.
"Apa kamu mencoba menampik keterasingan ini?"
"Mengapa kamu dulu pergi?" Ia terus mencoba memutar topik pembicaraan- seperti kebiasaannya disaat kita membicarakan film dalam perspektif masing-masing. "Tanpa mengucapkan satu kalimat selamat tinggal?" lanjutnya.
"Karena aku akan kembali, seperti saat ini."
"Dengan melibatkanku menjadi seorang perawan tanpa kepastian masa depan pernikahan?"
Pada detik kata itu diucap, pada detik itu pula aku tertampar dengan perkataannya. Aku terdiam, terpojok tidak tahu harus berkata apa. Ia benar, aku bodoh, meninggalkan seorang wanita cantik tanpa kepastian masa depan pernikahan. Tidak menghubunginya beberapa tahun hanya karena takut- takut mengatakan bahwa aku belum siap untuk membangun bahtera keluarga. Di depan satu cangkir kopi yang sudah tidak mengepul, Safia benar, aku adalah pecundang
1 comments
wow syaaf, it's really really heartwarming! two tumbs up!:D
ReplyDelete