Senja melankolis

By Nada A. - January 31, 2014

Jika waktu bisa membuat kenangan, apa bisa ia menghapus kenangan?

Aku tidak ingin menyalahkan waktu; karena hati yang kacau ini. Jika jam wekker-ku terus berdetik, apakah pikiranmu juga akan terus memikirkanku?
Tenang saja, aku tidak akan memaksamu. Untuk memikirkanku ataupun menanyakan kabarku.
‘Kita adalah anak- anak manusia yang tak pernah kenyang akan ke-fana-an dunia’. Kamu yang mengatakan hal itu kepadaku, ketika pertama kali kita bertemu di taman kota pada waktu senja. Aku masih ingat dengan pertemuan kita yang tidak sengaja.
Sore itu, aku menangis dibangku sudut taman kota. Aku kehilangan pekerjaanku karena aku ceroboh; terlalu asik dengan media sosial hingga lupa dengan deadline pekerjaanku. Aku dipecat karena hal yang sepele, memalukan bukan? Ketika aku melempar kaleng minuman, tanpa sengaja lemparanku mengenai kepalamu yang sedang melintas santai. Kau memungut kaleng itu dengan heran dan mulai menatapku garang. Dengan sigap, kau menghampiriku dan menjatuhkan kaleng itu tepat disampingku hingga menimbulkan sebuah suara. Aku menatapmu dan tiba- tiba kembali menangis kencang, seperti anak kecil yang kehilangan permennya. Kau heran dan kebingungan melihat sikapku.


Pikiranku tidak bisa dikendalikan, aku menangis dan menceritakan semua yang sedang terjadi kepadamu dengan tingkah gila. Dengan penuh rasa iba, sorotan matamu yang garang mulai padam. Saat itu juga, kau duduk disampingku dan menepuk pundakku dengan penuh kehangatan.
“Semua akan baik- baik saja. Tenanglah.” Ujarmu tiba- tiba ketika suara tangisku semakin ter-isak.
Kalimat demi kalimat pembangkit kau lontarkan agar aku berhenti untuk menangis. Dan kau berhasil membuatku berhenti menangis, namun isak tangisku masih tersisa ketika aku berbicara. Kutatap wajahmu lekat- lekat dan menatap matamu yang berada dibalik kacamata. Aku tersenyum dan kau mulai salah tingkah.
“Terimakasih.” Kataku dengan senyum mengembang dan isakan tangis yang mulai bisa diatur.
Kau mengangguk dan melontarkan senyum yang begitu manis,bagiku.
“Aku juga pernah dipecat dari pekerjaanku karena sesuatu hal yang sepele.” Katamu tiba- tiba. “Namun, semua itu tidak berarti apa- apa untukku. Karena aku tidak bisa menikmati pekerjaanku, seperti tertekan dan apa yang ingin aku lakukan terasa terbatasi.” Lanjutmu dengan sorot mata yang fokus menatap matahari yang semakin terpendam.
“Lalu?” Tanyaku singkat.
“Lalu, aku bersama teman- temanku membangun bisnis yang dapat ku nikmati. Aku membuka kedai kopi.” Tatapannya begitu hangat masuk kedalam saraf- saraf mataku.
Aku tertegun. “Apa yang spesial dari bisnis kedai kopi?”tanyaku sembari memalingkan tatapanku.
“Aku bisa menjadi bartender.” Jawabnya singkat. Aku semakin tertegun.
Banyak hal yang ingin ku ketahui lebih dalam darinya. Namun, waktu membunuh kebersamaan kita. Tak terasa, senja yang memancarkan semburat oranye berubah menjadi malam yang gelap dengan lampu- lampu kuning taman kota yang memancar.
“Terimakasih, senja yang berkesan.” Aku berdiri dan menepuk pundaknya berkali- kali. Jujur saja aku tidak ingin berpisah dari kehangatan yang sudah terjalin.
“Tidak masalah. Jika ada waktu, mampirlah ke kedai kopiku. Kita bisa kembali mengobrol seperti ini lagi.” Lagi- lagi senyumnya merekah begitu manis. Dia menyodorkan kartu namanya kepadaku, Arman Sidika.
Pertemuan sore itu adalah pertemuan pertama dan terakhirku dengannya. Aku pernah mengunjungi kedai kopinya yang ternyata bersebelahan dengan toko kue milik temanku. Ketika aku mencari sosoknya, nihil. Aku tidak ingin bertanya kepada pelayan- pelayan yang ada disana, aku tidak ingin terjerumus semakin dalam karena terlalu banyak memikirkannya.
Cukup aku saja yang menyimpan semua kenangan di sore itu.  Bukan kamu. Aku salah karena terlalu berharap banyak akan pertemuan sore itu. Sosokmu terlalu kuat untuk dilupakan. Aku tidak apa- apa, dengan bayangan kebersamaan di sore itu.
Membayangkanmu baik- baik saja sudah membuatku bahagia. Semoga kita bisa bertemu, dilain kesempatan yang lebih membahagiakan.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments