Awal
tahun belum genap tiga puluh, tetapi perasaan bahagiaku sudah runtuh. Aku kira,
“semoga ranum bahagia tumbuh seperti mekar bunga yang merekah indah” sebagai
doa bagi resolusi pergantian tahun, dapat berlangsung lama, menjelma menjadi
keringanan yang tidak terduga menyenangkannya. Namun, ternyata aku salah.
Sepertinya bahagia memang belum memihak padaku.
Kepalaku
pusing tidak karuan. Ingin menangis, tetapi rasanya tertahan. Padahal mataku
sudah panas dan sangat merah. Aku merasa payah. Berjalan pun sempoyongan.
Menutup buku dari sakit hati, malah membuka luka baru tentang masa lalu.
Rasanya sesak setiap kali mengingat kehidupan mandiri yang pernah aku jalani.
Aku tidak menuntut bebas, tetapi berharap memiliki ruang dan rengkuhan yang
menenangkan.
Malam
temaram dan dinginnya menusuk tulang. Rasanya ingin berteriak meminta maaf pada
setiap orang, karena tidak kuat lagi menampung kesedihan. Perasaan sensitif ini
mesti diberi nama apa? Setiap kali ingin bersuara, keluar menjadi dehaman tidak
bermakna. Hanya bisa sesenggukan tanpa dapat menangis lepas. Rasanya tercekat.
“Tidak
apa-apa” begitulah jawaban setiap kali ada yang bertanya kenapa.
Perasaan
sensitif ini mesti dijelaskan bagaimana? Ada rasa sesak di dada, seperti
gerombolan rentetan kata yang tertahan, menuntut untuk dikeluarkan. Pikiran
berkecamuk dan perasaan hati dirundung keresahan. Semoga bahagia masih mau
singgah, meskipun kelam perasaan terus saja hadir mendominasi.