Tahun ini adalah tahun pertamaku hadir dalam perhelatan festival literasi se-Asia Tenggara, Ubud Writers & Readers Festival 2018. Bukan sebagai peserta tentunya, karena meski masih berstatus mahasiswa dan biaya yang terbilang cukup terjangkau, tetap saja aku tidak sampai hati jika harus membayar acara-acara talkshow. Maka, sejak tahun lalu, aku sudah mencoba untuk mendaftar sebagai volunteer. Dan di tahun ini, setelah untuk kedua kalinya mencoba, akhirnya diterima! Meskipun pada mulanya aku masuk dalam daftar waiting list volunteer.
Banyak sekali cerita yang ingin aku bagikan. Namun, to make it short, i'll tell you the others story about this event later and let me tell you tentang pemutaran film dan pertunjukan teater yang membuatku terkagum-kagum!
Marlina "Si Pembunuh Dalam Empat Babak"
Sebelum di putar dalam festival ini, film Marlina memang sudah ramai menjadi perbincangan. Mendapatkan berbagai penghargaan dan disukai oleh banyak orang. Pada awal mula film diputar, aku pikir Markus adalah Ayah Marlina yang bejat. Namun, seiring dengan percakapan antar tokoh dan bagaimana Marlina selalu terlihat kesal ketika berada disamping Markus, aku baru bisa memahami alur ceritanya!
Film garapan Mouly Surya ini teramat keren luar biasa! Mengangkat latar tempat di daerah Timur Indonesia, ia berhasil membuat para penonton berdecak kagum dengan hamparan sabana yang ada dalam penggalan adegan perjalanan Marlina mencari keadilan; setelah sebelumnya ia berhasil memenggal kepala Markus sang pencuri & pemerkosa.
Adegan favorit saya adalah ketika Marlina selesai memberikan pengakuan kepada polisi, lalu duduk di warung makan kecil dan di peluk oleh Topan. "Mama jangan menangis.." begitu katanya.
Berdasarkan pemahamanku, film ini mencoba untuk membuka perspektif pemahaman kita bahwa korban pencurian sekaligus pemerkosaan yang terjadi di wilayah Timur sana masih sulit sekali untuk mendapatkan keadilan. Harus menunggu lama. Belum tentu diproses.
Laut Bercerita
Diangkat dari novel dengan judul yang sama, film ini berkisah tentang tragedi sebelum 1998 di Indonesia. Tentang harapan dari orang-orang yang ditinggalkan dan apa yang terjadi terhadap mereka yang hilang.
Pemain utama dalam film ini adalah Reza Rahardian, sebagai Biru Laut; sang aktivis buronan para intel yang kerap kali membahas buku-buku kiri. Ia dipasangkan dengan Dian Sastrowardoyo (Anjani) yang juga merupakan aktivis mahasiswa pada masa itu.
Biru Laut sudah ditangkap. Dikurung dalam bilik penjara yang kelam, anyir, dan tidak kenal waktu. Bersama teman-temannya, ia di intogerasi, pukulan dan segala siksaan lain datang membentur tubuh mereka ketika jawaban tidak memuaskan. Mereka diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Disekap tanpa tahu oleh siapa.
Sementara keluarga di rumah, terus berharap dan merapal doa; untuk keselamatan dan ketenangan jiwa anak-anak mereka yang hilang.
Di dasar laut, Biru Laut bercerita tentang mimpinya ketika menjalani kehidupan yang normal; tentu saja sebelum ia disekap dan tenggelam di lautan. Bapak yang selalu membantu Ibu menyusun piring ketika makan malam. Ibu memasak Gulai favorit Laut setiap akhir pekan. Dan Asmara yang membantu merapihkan makan malam.
Jika kalian ingin tahu bagaimana Anjani, silahkan menonton short-movienya!
Sekala & Niskala (The Seen and Unseen)
Berkisah tentang dua saudara kembar 'buncing' yang harus terpisah karena salah satu diantaranya terkena penyakit. Tantri dan Tantra, tokoh utama dalam film yang berdurasi kurang lebih 86 menit ini mampu membuat para penonton berdecak kagum! Kelenturan mereka meniru gerak gaya binatang, keterhubungan telepati antar mereka, dan semuanya! Aku kagum! Meskipun pada mulanya tidak cukup paham dengan maksud cerita yang disampaikan.
Setelah melihat kegigihan Tantri; untuk selalu percaya bahwa Tantra akan kembali sembuh, membutku banyak bersedih. Apalagi ketika adegan Tantri dan Ayu Laksmi (ibunya) berada di sungai. "Tadi malam Tantri ketemu Tantra, dia bilang sangat sayang sekali dengan Ibu.." Sembari membersihkan bekas lukisan di wajah Tantri, Ayu Laksmi memeluknya penuh haru.
Berlatar tempat di Bali, ditambah dengan penggunaan bahasa Bali yang kental, film ini bagiku tidak hanya membuat decak kagum tetapi juga memberi pengetahuan bahasa & sejarah tentang Bali yang masih sangat kental digambarkan.
Begitu indah keterhubungan antara Tantra dan Tantri digambarkan. Sampai-sampai, aku menangis karena hingga akhir film, Tantri tetap menolak duka.
P E R T U N J U K K A N
TEATER
Aku duduk di depan. Bersila dan bersandar pada bean bag. Suara musik perlahan mulai mengalun. Lima orang keluar, berada pada posisinya masing-masing. Ada yang berdiri, memegang payung, berada di depan mic, dan duduk sembari melakukan koreografi!
Malam itu cukup ramai, setelah menyelesaikan sesi screening film Laut Bercerita, orang-orang dengan penuh antusias telah berjajar duduk di depan panggung; menunggu pertunjukkan musik yang akan di tampilkan.
Hujan di Bulan Juni menjadi tema dalam acara live music and performance pada malam itu. Suasananya hangat dan perunjukkan pertama sungguh hebat!
Musikalisasi puisi yang dipadukan dengan pertunjukkan teater sangat bagus luar biasa. Aku suka sekali dengan perpaduan antar koreografi para pemain teater, musik, dan pembacaan puisinya!