Tahun lalu, masa-masa terberat dalam menentukan pilihan.
Siapa sangka, jika akhirnya setelah lulus dari SMA aku malah diterima di Malang;
kota dimana sebelumnya tidak pernah terfikirkan olehku untuk menetap. Dan siapa
sangka, bahwa keputusanku hanya semakin menambah beban bagi finansial orangtua
yang pas-pasan.
Aku merasa bersalah, jika sebelumnya menetapkan keputusan
tanpa berdiskusi dengan Ibu. Bukan maksud memang tidak ingin melibatkan, namun
aku sedang ingin mencari situasi aman dimana proses masuk perguruan tinggi;
terlebih negeri, mempunyai banyak saingan yang tidak bisa diprediksi
keberhasilannya.
Namun pada akhirnya, aku dibiarkan pergi. Menimba ilmu di
kota yang sebelumnya tidak pernah sedikitpun terblesit untuk dijadikan tempat
studi. Aku menetap di daerah Watugong, tempat dimana kampus dan kos bisa
dilalui dengan berjalan kaki.
Masa-masa awal berada di sebuah kota asing ini terbilang
cukup berat, ketika rindu terhadap suasana rumah sering berkelebat hingga
membuat air mata jatuh setiap malamnya. Rindu dengan menatap rupa kedua
orangtua, saudara dan sahabat-sahabat disana. Temanku bilang, hal tersebut
lumrah dirasakan, terlebih untuk seorang yang setiap harinya selalu tinggal
bersama orangtua.
“Tidak ada pelajaran hidup, jika cobaannya enggan
dirasakan..” Seorang temanku pernah berkata demikian, mencoba meyakinkanku
bahwa akan selalu ada hal indah setelah hal sulit berhasil dilalui. Aku percaya
akan hal tersebut, namun tidak untuk Ibuku yang masih berusaha untuk memintaku
kembali; mencoba lagi mendaftar ujian di perguruan tinggi negeri tempatku
berasal.