"Kinan, aku rasa kita akan selalu menjadi tanda tanya."
"Aku tahu."
Kami sama-sama diam. Duduk berdampingan di bawah remang, ditemani iringan beberapa lalu lalang orang. Kelopak mataku mulai panas. Air mata mulai menggenang, tapi urung aku lepaskan.
"Aku tidak bisa menjalani ini bersamamu. Hubungan ini.... terasa janggal," jelasnya."Aku juga tahu, selama ini kamu telah banyak menyimpan perasaan untukku. Aku tidak tahu harus membalas apa. Kamu terlalu baik," ia melanjutkan.
Tanpa sadar, aku menyimpulkan senyum getir. Bagaimana bisa aku menerima pernyataannya. "Kamu terlalu baik" adalah kalimat konyol untuk menutupi masalah. Tetapi anehnya, aku hanya mengangguk. Menerima.
"Kamu ingat kapan pertama kali kita bertemu?"
Aku menengok, menatap rupanya yang diterpa nyala lampu oranye. Tidak. Aku sudah berjanji untuk tidak lagi luluh meski terpana melihatnya mengenakan kacamata, batinku. Sontak aku menggeleng. Ia pikir gestur yang kutunjukkan merupakan tanda bahwa aku tidak mengingat jawaban dari pertanyaan yang dilontarkannya.
"Kamu lupa?"
"Aku sudah menyukaimu sejak tujuh tahun lalu. Bahkan, sebelum kamu menjadi idola SMA berkat permainan basket yang menawan. Kamu tahu aku menyukaimu selama itu karena apa?"
"Karena aku memiliki ketampanan terpendam?" jawabnya menggoda.
"Bodoh. Lihat ini," aku menyodorkan sebuah cermin kecil tepat di depan wajahnya.
Ia mengamati wajahnya, sedikit membenahi rambut yang sebenarnya tidak berantakan sama sekali. Lalu, mengusap dagu dan kumis tipisnya yang tidak kentara. "Oh, ternyata aku tampan juga," ujarnya bercanda sembari menyenggol bahuku.
"Aku serius," kataku. "Karena kamu, apa adanya," terangku.
Ia meletakkan kembali kaca di telapak tanganku. Mengubah ekspresi bercandanya kembali untuk lebih dewasa. "Maaf, maaf aku hanya tidak ingin kita berakhir menyedihkan."
"Aku tahu, kita akan selalu menjadi tanda tanya. Setelah sekian lama hanya saling sapa lewat sosial media setelah masa SMA berlalu, tiba-tiba saja dunia mengubah segalanya. Kita bertemu lagi pada satu pekerjaan yang sama. Aku langsung menggunakan kesempatan itu untuk memulai lebih dulu agar semakin mengenalmu."
"Kinan..."
Aku memegang pundak kirinya pelan, "Sebentar, aku belum selesai."
"Aku tahu, sejak awal semua ini adalah ulahku. Aku yang memulai. Aku melangkahkan kaki untuk mendorongmu agar mau bersamaku. Aku menceritakan semua yang aku rasakan padamu sejak dulu, membuatmu merasa iba dan kemudian memutuskan unutuk menerima? Iya kan?"
Aku menyenderkan diri. Mengambil nafas panjang, bersiap untuk menerima segala penjelasan yang dirasakannya selama tiga tahun kita bersama. "Kita memang tidak bisa bersama karena hanya aku yang ingin tetap kita bersama kan?" aku kembali bertanya, memecah hening ketika ia sedang menunduk tanpa suara.
"Kinan, aku senang bersamamu. Aku banyak belajar darimu, terutama tentang penerimaan diri. Aku menyukaimu karena kebebasanmu. Sungguh, aku senang bersamamu." Ia mengepal tanganku erat. "Tetapi, masih banyak hal yang tidak kita tahu kedepannya. Aku, tidak ingin kita menjadi saling tergantung." Tangannya masih mengepal erat. Mimik wajahnya menatapku sayu.