Aku bahagia. Meskipun tidak benar- benar bahagia. Mengikhlaskan mungkin akan menjadi lebih baik. Tetapi.... susahnya mengikhlaskan, itulah cobaannya.
"Nara!"
Suara Ibu samar- samar memanggil. Aku menoleh mendapati sosok Ibu yang sedang berdiri diujung kolam sambil melambaikan tangannya ke arahku. Segera aku menyudahi segala kegiatanku di gubug dan lalu menghampiri Ibu.
"Kamu kebiasaan. Udah hampir maghrib belum pulang."kata Ibu."Sudah. Ambil laptopmu dan segera pulang. Ibu akan pergi sebentar ke rumah Wa Ina."lanjutnya.
Aku mengangguk, kemudian membalikkan badan berlalu menuju gubug-- membereskan segala barang- barangku dan pulang.
"Paman, Nara pulang dulu ya!"
"Ya."jawab Paman Has singkat.
Jarak rumah yang tidak begitu jauh, membuatku lebih suka berjalan kaki daripada menaiki sepeda. Lagipula siapa yang ingin menaiki sepeda dengan jalanan yang berlubang dan belum halus diaspal.....
Kutaruh tas di atas meja belajar. Aku menemukan secarik kertas mimpiku, yang bertuliskan :
Mendapatkan Rangking 3 besar di semester 2 hingga semester- semester lainnya.
This paper has become a real.
"Yeaaaaaa!!!" Aku menjerit sekencang mungkin. Tidak mempedulikan apapun. Baru kali ini aku benar- benar merasa bahagia akan tulisan- tulisan yang aku buat, yang kata teman- temanku 'khayal- khayal'.
Dari luar kamar, terdengar suara Ayah yang berteriak."Nara! Kenapa menjerit- jerit seperti itu."
"Ehm. Gak kenapa- kenapa kok, Yah."aku lalu berhenti menjerit. Dan kembali mengamati kertas mimpiku yang kutempelkan di meja belajar, tujuan utamanya agar kertas mimpi tersebut bisa memotivasi semangat belajarku. Ceritanya begitu.
Sudah lebih dari dua minggu penerimaan rapot berlalu, aku baru menyadari bahwa rangking yang aku dapat ternyata merupakan salah satu mimpi yang ingin aku capai. Dan....... aku hanya bisa mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas segala kebesaraanNya.
Aku merasa menjadi manusia paling laknat di dunia, karena aku terlalu menutup mata. Aku mudah menyerah sebelum mendapatkan hasil yang benar- benar aku inginkan. Bukan maksud ingin menjadi ambisius, tetapi setidaknya jika aku masih bisa, mengapa tidak kembali dicoba bukan?
Merasa tidak berguna adalah perasaan paling menjatuhkan. Ternyata, perasaan seperti itu hanya membuatku menjadi lebih terpuruk dan malah tidak ingin bangkit bahkan berhenti untuk berjuang. Aku salah, menafsirkan potensi yang ada pada diriku sendiri.
Kini aku mulai menyadari, bahwa dunia tidak mempermainkanku. Aku yang malah mempermainkan dunia, aku telah membiarkan cobaan demi cobaan menjadi batu pengganjal dalam hidupku. Padahal aku bisa melaluinya, dengan kesabaran dan keikhlasan.
Tidak selalu perlu menjadi pandai demi mengukirkan senyum bangga untuk kedua orangtua, asalkan kamu menjadi anak yang baik, sejujurnya mereka sudah bahagia dan bangga. Tetapi, jika kamu bisa mengukirkan prestasi tentunya mereka akan lebih bangga.
Sebuah mimpi yang kita tuliskan, terkadang bisa menjadi sebuah kekuatan besar dalam hidup kita. Meskipun mimpi- mimpi yang kita tuliskan terlihat "Berlebihan" atau "Ketinggian", jangan takut. Yakini bahwa kita bisa, menggapai setiap mimpi. Jika memang sudah terlewati dan tidak bisa menjadi nyata, masih ada waktu yang bisa kita lakukan untuk menggapai mimpi- mimpi lain.
Jangan pernah berhenti bermimpi, ketika mimpi itu bisa membuatmu termotivasi. Bermimpi dan tuliskanlah mimpimu, sebanyak yang kamu ingin capai. Selamat bermimpi, saya Nara. Pemimpi besar dan membosankan.
"Nara!"
Suara Ibu samar- samar memanggil. Aku menoleh mendapati sosok Ibu yang sedang berdiri diujung kolam sambil melambaikan tangannya ke arahku. Segera aku menyudahi segala kegiatanku di gubug dan lalu menghampiri Ibu.
"Kamu kebiasaan. Udah hampir maghrib belum pulang."kata Ibu."Sudah. Ambil laptopmu dan segera pulang. Ibu akan pergi sebentar ke rumah Wa Ina."lanjutnya.
Aku mengangguk, kemudian membalikkan badan berlalu menuju gubug-- membereskan segala barang- barangku dan pulang.
"Paman, Nara pulang dulu ya!"
"Ya."jawab Paman Has singkat.
Jarak rumah yang tidak begitu jauh, membuatku lebih suka berjalan kaki daripada menaiki sepeda. Lagipula siapa yang ingin menaiki sepeda dengan jalanan yang berlubang dan belum halus diaspal.....
Kutaruh tas di atas meja belajar. Aku menemukan secarik kertas mimpiku, yang bertuliskan :
Mendapatkan Rangking 3 besar di semester 2 hingga semester- semester lainnya.
This paper has become a real.
"Yeaaaaaa!!!" Aku menjerit sekencang mungkin. Tidak mempedulikan apapun. Baru kali ini aku benar- benar merasa bahagia akan tulisan- tulisan yang aku buat, yang kata teman- temanku 'khayal- khayal'.
Dari luar kamar, terdengar suara Ayah yang berteriak."Nara! Kenapa menjerit- jerit seperti itu."
"Ehm. Gak kenapa- kenapa kok, Yah."aku lalu berhenti menjerit. Dan kembali mengamati kertas mimpiku yang kutempelkan di meja belajar, tujuan utamanya agar kertas mimpi tersebut bisa memotivasi semangat belajarku. Ceritanya begitu.
Sudah lebih dari dua minggu penerimaan rapot berlalu, aku baru menyadari bahwa rangking yang aku dapat ternyata merupakan salah satu mimpi yang ingin aku capai. Dan....... aku hanya bisa mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas segala kebesaraanNya.
Aku merasa menjadi manusia paling laknat di dunia, karena aku terlalu menutup mata. Aku mudah menyerah sebelum mendapatkan hasil yang benar- benar aku inginkan. Bukan maksud ingin menjadi ambisius, tetapi setidaknya jika aku masih bisa, mengapa tidak kembali dicoba bukan?
Merasa tidak berguna adalah perasaan paling menjatuhkan. Ternyata, perasaan seperti itu hanya membuatku menjadi lebih terpuruk dan malah tidak ingin bangkit bahkan berhenti untuk berjuang. Aku salah, menafsirkan potensi yang ada pada diriku sendiri.
Kini aku mulai menyadari, bahwa dunia tidak mempermainkanku. Aku yang malah mempermainkan dunia, aku telah membiarkan cobaan demi cobaan menjadi batu pengganjal dalam hidupku. Padahal aku bisa melaluinya, dengan kesabaran dan keikhlasan.
Tidak selalu perlu menjadi pandai demi mengukirkan senyum bangga untuk kedua orangtua, asalkan kamu menjadi anak yang baik, sejujurnya mereka sudah bahagia dan bangga. Tetapi, jika kamu bisa mengukirkan prestasi tentunya mereka akan lebih bangga.
Sebuah mimpi yang kita tuliskan, terkadang bisa menjadi sebuah kekuatan besar dalam hidup kita. Meskipun mimpi- mimpi yang kita tuliskan terlihat "Berlebihan" atau "Ketinggian", jangan takut. Yakini bahwa kita bisa, menggapai setiap mimpi. Jika memang sudah terlewati dan tidak bisa menjadi nyata, masih ada waktu yang bisa kita lakukan untuk menggapai mimpi- mimpi lain.
Jangan pernah berhenti bermimpi, ketika mimpi itu bisa membuatmu termotivasi. Bermimpi dan tuliskanlah mimpimu, sebanyak yang kamu ingin capai. Selamat bermimpi, saya Nara. Pemimpi besar dan membosankan.